Oleh: Adi Nasumardy (MAN 2 Kota Serang)

Kemahiran berbahasa merupakan salah satu hal mutlak yang harus dikuasai oleh setiap individu untuk dapat bersaing dan berkembang di era modern saat ini. Sebagai respon atas hal tersebut, pemerintah telah merancang dan mengembangkan sebuah instrumen pengukuran kemahiran berbahasa yang dinamakan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI).

Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) merupakan sebuah instrumen uji yang dirancang dan dikembangkan untuk mengukur tingkat kemahiran berbahasa seseorang dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Materi yang diujikan dalam UKBI meliputi empat kompetensi bahasa, yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Selain itu, dalam UKBI juga diujikan materi tentang kaidah bahasa Indonesia.

UKBI sebetulnya bukanlah hal yang baru untuk masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, masih banyak masyarakat yang belum mengetahuinya. Mereka yang sudah tahu pun belum tentu pernah mengikutinya. Bahkan di tingkat pengajar, khususnya pengajar bahasa Indonesia pun ternyata masih banyak yang belum pernah mengikutinya.

Apabila kita menilik sejarah, lahirnya Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) ini tidak terlepas dari sederet peristiwa penting yang diprakarsai Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (dahulu Pusat Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gagasan awal UKBI muncul dalam Kongres Bahasa Indonesia III pada tahun 1978. Kemudian dalam Kongres Bahasa Indonesia V pada tahun 1988 muncul pula gagasan tentang perlunya sarana untuk standar tes bahasa Indonesia. Sejak saat itu, mulai dirancang sebuah instrumen untuk mengukur kemahiran bahasa Indonesia. Akhirnya, pada tahun 1996, instrumen tersebut dapat terwujud dengan nama Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI).

Di tengah gencarnya upaya pemerintah dalam mensosialisasikan program UKBI, timbul pula pertanyaan dari masyarakat. Ke manakah arah dan tujuan pelaksanaan UKBI ini? Bagaimana tindak lanjut dari pelaksanaan UKBI ini nantinya? Apakah UKBI sekadar menjadi kegiatan rutinitas untuk mengingatkan kita akan keberadaan bahasa Indonesia? Mungkin juga hanya untuk mengetahui tingkat kemahiran semata, tanpa ada tindak lanjut dari hasil pencapaian.

Sederet pertanyaan tersebut memang terkesan agak menyangsikan keseriusan pemerintah selama ini dalam mewujudkan program UKBI secara komprehensif. Terlebih dengan hadirnya program TOEFL di Indonesia yang pamornya justru lebih dikenal di masyarakat.

Dengan adanya program Apresiasi Giat UKBI Adatif Merdeka bagi Sekolah sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UKBI, setidaknya dapat menjadi salah satu bukti keseriusan pemerintah dalam melaksanakan UKBI secara komprehensif. Hal ini juga sekaligus menjawab pertanyaan- pertanyaan yang berkembang selama ini.

Kendati demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah dalam melaksanakan program UKBI sebagai rekomendasi dari Kongres Bahasa Indonesia III. Perlu adanya upaya yang lebih optimal agar UKBI tidak hanya bisa dikenal, tetapi juga dibutuhkan oleh masyarakat.

UKBI dapat menjadi salah satu solusi dalam upaya melestarikan dan meningkatkan martabat bahasa Indonesia di tengah maraknya penggunaan bahasa Asing di Indonesia. Pelaksanaan kegiatan UKBI juga dapat menjadi momentum untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya penggunaan dan pengutamaan bahasa Indonesia. Sebagaimana slogan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing.”

Pada masa yang akan datang diharapkan UKBI dapat digunakan sebagai syarat untuk masuk perguruan tinggi dan dunia kerja. Selain itu, bagi kalangan pengajar, khususnya pengajar bahasa Indonesia, sebaiknya bisa lulus UKBI dengan standar capaian tertentu.