{"id":783,"date":"2020-07-25T14:36:40","date_gmt":"2020-07-25T14:36:40","guid":{"rendered":"http:\/\/samandanews.com\/?p=783"},"modified":"2020-07-26T05:56:02","modified_gmt":"2020-07-26T05:56:02","slug":"siapa","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/samandanews.com\/2020\/07\/25\/siapa\/","title":{"rendered":"“Siapa?”"},"content":{"rendered":"

Ah, berisik sekali. Rasanya aku baru terlelap beberapa menit. Tanganku meraba-raba kasur, mencari sumber suara. Yang bising itu adalah nada deringku, ah, ini dia. <\/p>\n

Si kotak berisik. Siapa yang menelpon malam-malam begini? Apa dia tak butuh istirahat? Dengan susah payah aku berusaha memisahkan kelopak atas mataku yang masih ingin menempel dengan kelopak bawah.<\/p>\n

Sembari menyipit, aku melihat display name si penelepon. Ternyata Kara. Sahabatku. Eh? Bukannya Kara baru meneleponku semalam? Laki laki itu tak mungkin menelepon dua kali saat malam hari. Kalau begitu, ini gawat! Aku mengangkat teleponnya. Tak ada halo atau sapaan lainnya, tetapi teriakan menggelegar yang langsung memenuhi telingaku.<\/p>\n

\u201cGITA! BANGUN!\u201d Teriak si penelepon begitu aku menerima teleponnya. Kalau Kara marah seperti ini, itu berarti aku telat! Ah, maksudnya,<\/p>\n

KITA TELAT!<\/p>\n

\u201cKara! Gue siap-siap sekarang ya! Tungguin!\u201d kataku. Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung menutup teleponnya. Jika tidak, ia akan mengomel semakin panjang. Aku langsung menyambar handuk dan segala perlengkapan dan segera bersiap. Mati aku.<\/p>\n

Setelah selesai bersiap-siap, aku langsung keluar dari kosanku. Tidak lupa menguncinya. Aku melihat Kara dengan muka super jengkelnya berdiri dibawah pohon tempatnya biasa menunggu. Sepertinya ia sadar dengan keberadaanku dan menatapku dengan tatapan yang sangat menyeramkan seakan ia akan melahapku.<\/p>\n

\u201cKok bisa sih lo bangun jam segini?\u201d serbunya begitu aku sampai didepannya. \u201cNgapain aja coba?\u201d tanyanya lagi. Tak mungkin kan aku bilang kalau aku menonton series Netflix semalaman? Bukan lagi siraman rohani yang kudapat tapi siraman kerikil. Aku hanya membalasnya dengan cengengesan kurang ajarku.<\/p>\n

\u201cCk, Inimah udah pasti telat kita.\u201dgerutunya dengan muka tertekuk.<\/p>\n

\u201cMaaf\u201d kataku. Ia menghela napas dan mengambil sesuatu di box motornya.<\/p>\n

\u201cBelom sarapan kan, lo? Tanyanya sambil membuka kotak makanan yang tadi diambilnya. Aku hanya menggeleng. Gila. Mana sempat aku sarapan?. Ia mengambil roti berbentuk segitiga yang berisi susu dan ceres.<\/p>\n

Sepertinya.<\/p>\n

\u201cNih a\u201d katanya lalu menyuapiku roti isi tersebut. Aku memegangnya, oh ternyata selai coklat, bukan susu. Kara mengambil helm berwarna coklat dan memakaikannya padakau, tak lupa menguncinya.<\/p>\n

\u201cAyo buruan naik\u201d titahnya sembari memukul helm yang aku pakai dan menarikku ke motor hitamnya.<\/p>\n

Ah, sebelumnya, ini Kara. Sahabatku satu-satunya. Sejak kami memasuki masa SMA, inilah rutinitasnya. Menjemputku ke kosan, jika aku ada kegiatan klub atau organisasi, ia akan menungguku. Begitupun sebaliknya. Tapi tak jarang aku pulang lebih dulu karena Kara terlalu lama dan ia marah karena aku tidak memberi tahunya. Dan tak jarang, karena terlalu kesiangan masuk sekolah, kamipun bolos.<\/p>\n

\u201cKuping lo tuh kayanya kemasukan karet ban deh, git.\u201d ucapnya<\/p>\n

\u201cEh enak aja! Ya ngga karet ban juga kali ra\u201d balasku sambil memukul helmnya. Ia terkekeh sebentar.<\/p>\n

\u201cAbisnya alot bener dibanguninnya. Pernah pas itu gue ampe khawatir, gue kira lo mati\u201d katanya \u201cSemalem jug ague udah bilang git, abis lo tutup teleponnya, langsung tidur. Kenapa sih ga nurut?\u201d lanjutnya. Haaah, udah pasti ini akan menjadi bahasan yang panjang. Kara akan memberiku siraman rohani. Ia akan mengomel. Tugasku? Meng-iyakan saja, masalah dilakukan atau tidak, lihat besok saja.<\/p>\n

Kara dan aku bersahabat sejak kecil. Kami bertetangga. Sejak aku TK, aku selalu disekolahkan di sekolah yang sama dengan Kara. Kata bunda sih, biar ada yang jagain. Maklum. Aku anak tunggal. Memasuki SMA, Kara dan keluarganya pindah ke kota sebelah. <\/p>\n

Rumah yang lebih dekat dengan sekolah Kara. Dan, ya. Sekolah Kara adalah sekolahku juga. Tadinya aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama lagi. Apalagi sampai harus keluar kota. Tapi bunda sudah kelewat percaya dengan Kara. Ibu Kara juga menawarkan untuk tinggal bersamanya tetapi aku menolak.<\/p>\n

Pasti merepotkan.<\/i><\/p>\n

Jadi aku memilih untuk mengekos dan Kara sebagai antar jemputku. Nah, yang ini tak bisa kutolak. Lumayan, menghemat ongkos.<\/p>\n

\u201cGita, lo dengerin gue kan?\u201d ucapnnya setelah mengomel panjang lebar.<\/p>\n

\u201cIya Kara, gue denger. Kuping gue masih nempel nih dua\u201d jawabku.<\/p>\n

Sesampainya disekolah, kami memasuki sekolah secara sembunyi-sembunyi. Sampai ada guru yang mendapati kami masih berjalan di koridor.<\/p>\n

\u201cHeh kalian!\u201d panggilnya. Kami meringis dan menoleh kebelakang dan menghampiri guru tersebut.<\/p>\n

\u201cAbis darimana kalian? Telat?\u201d tanyanya<\/p>\n

\u201cEh pak Romli, ngga pak, ini kita abis dari uks, minta minyak kayu putih, tadi dia lemes pak, pusing\u201d jawab Kara. Seketika aku pun mengangguk dan memasang wajah lemah lesu. Pak Romli melihatku sekilas dan langsung mempercayai apa yang dikatakan Kara.<\/p>\n

\u201cOh gitu. Yaudah sana anterin\u201d ucapnya. Kami kira kami berhasil. Ternyata keberutnungan sedang tidak berpihak pada kami hari ini. Baru saja kami membalikkan badan, untuk meneruskan jalan, pak Romli menghampiri kami lagi. Kali ini menepuk bahu Kara.<\/p>\n

\u201cEmang di uks tadi ada razia kelengkapan berkendara ya sampe pake helm gitu?\u201d ucap pak Romli. Ternyata Kara masih memakai helmnya. Sepertinya ia lupa membukanya dan aku pun sama sekali tidak sadar karena tanganku lebih dulu ditarik untuk berlari.<\/p>\n

Hukuman kami berdiri dilapangan, hormat pada sangkakala merah putih sampai jam istirahat. Sekarang sudah pukul 8.30 dan istirahat pukul 9.30. Ah pas sekali tempatku berdiri dihadiahkan sinar matahari yang menyengat. Ditambah lagi aku harus memejamkan mataku karena silaunya. Tiba-tiba terik yang kurasa tadi hilang. Aku tak lagi merasa tersengat cahaya matahari itu.<\/p>\n

Kubuka mataku perlahan, yang ada di hadapanku sekarang adalah punggung tegap dengan bahu yang lebar dengan tinggi yang tentu lebih tinggi dariku. Kara kini berdiri didepanku. Badannya menutupi sinar matahari yang tadi menyerbuku. Padahal, tadi ia berdiri disampingku.<\/p>\n

Dan sama halnya denganku, lelaki itupun diserbu sorot silau matahari yang panas itu. Tapi kini ia berdiri didepanku, menutupiku dari cahaya matahari.<\/p>\n

\u201cRa, jam istirahat masih sejam lagi loh kurang lebih. Lo mau disitu terus?\u201d tanyaku.<\/p>\n

\u201cYaelah, tau gue. kalo lo tanya gitu, pasti gue gamau. Tapi, kalo gue balik lagi gue bakal kepanasan, terus lo juga kepanasan. Gapapa deh gue disini, kasian gue liat lo merem merem\u201d jawabnya. Lalu ia menghela napas \u201cBisa aja sih gue pindah kesono yang lebih ademan. Tapi ga ah, disini ada lo\u201d lanjutnya.<\/p>\n

Kami terdiam sebentar.<\/p>\n

\u201cMakasih ya\u201d jawabku.<\/p>\n

\u201cGausah lebay\u201d balasnya yang membuatku kesal. Sudah baik aku berterima kasih. Aku mencubit pinggangnya. Ia meringis kesakitan.<\/p>\n

\u201cUdah bagus gue makasih! Malah dikata lebay!\u201d omelku<\/p>\n

\u201cBodoamat\u201d jawabnya meledek sambil menggoyangkan pinggulnya kekanan dan kekiri.<\/p>\n

\u201cIh Kara!\u201d<\/p>\n

Akhirnya hukuman kami yang lama itupun berakhir. Berhubung ini waktu istirahat, dan teman teman perempuanku pun sepertinya telah lebih dulu pergi ke kantin, kamipun langsung menujur kantin.<\/p>\n

\u201cLo cari tempat gih, gue yang pesenin\u201d katanya.<\/p>\n

\u201cRa gue beliin minum aja ya\u201d pintaku. Kara menatapku sebentar.<\/p>\n

\u201cdih apaan, ga. Gaboleh. Lo kan baru makan roti\u201d balasnya.<\/p>\n

\u201cRa sebenernya gue lupa bawa duit, ini ada di kantong bekas kemaren. Goceng doang\u201d Balasku lagi.<\/p>\n

\u201cYaudah gue yang bayarin\u201d tanpa menungguku membalas lagi, ia langsung melenggang pergi. Aku memutar bola mataku dan langsung mencari tempat untuk duduk. Tak lama, Kara datang dengan nampan yang diatasnya terdapat sepiring batagor dan dua minuman.<\/p>\n

\u201cNih makan\u201d ucapnya<\/p>\n

\u201cTerus lo sendiri ga makan? Ngapain maksa gue makan kalo gitu?\u201d balasku kesal.<\/p>\n

\u201cSepiring berdua ya Git, ternyata duit gue juga pas pasan, lupa bawa dompet\u201d katanya sambil tertawa , lalu mengambil satu sendok.<\/p>\n

“Nih\u201d dan menyerahkannya padaku.<\/p>\n

\u201cCepetan bentar lagi masuk\u201d kami pun menyantap sepiring batagor itu. Selesai menyantap makanan berbumbu kacang tersebut, kami menuju kelas dan mengikuti pelajaran sampai bel kemenangan berbunyi.<\/p>\n

Seperti yang kuceritakan tadi, mengantarku pulang ke kosan juga pekerjaan Kara. Maka kini aku sedang duduk diatas motor hitamnya, membelah jalanan ibukota yang rasanya tak pernah sepi.<\/p>\n

\u201cGit, kata ibu, bunda udah transfer tadi. Mau ngambil dulu ga?\u201d katanya<\/p>\n

\u201cYaudah\u201d jawabku. Kami pun berhenti sebentar di sebuah minimarket untuk menarik uang yang ditransfer bunda. Setelah itu kami langsung menuju ke kosanku. Tapi, jangan harap langsung sampai begitu saja. Bukan Jakarta namanya kalau tidak macet, ya kan?. Akhirnya kamipun sampai di kosanku karena macet hari ini tidak terlalu parah.<\/p>\n

\u201cAwas lo jangan tidur malem lagi\u201d ucapnya mengingatkanku.<\/p>\n

\u201cYaudah kalo ga tidur malem gue tidur subuh aja\u201d jawabku.<\/p>\n

\u201cYaelah, jangan malem malem maksudnya\u201d katanya sambil mengacak rambutku.<\/p>\n

\u201cIya Kara\u201d jawabku yang dibalasnya dengan senyuman dan acungan jempolnya.<\/p>\n

Aku menatapnya yang semakin jauh. Entah mengapa aku pun tak tahu. Aku hanya ingin menatapnya. Tak lama, akupun masuk ke istanaku alias kosanku.<\/p>\n

Matahari yang tadi menyengatku dengan tajamnya sepertinya sekarang sudah lelah. Ia mulai turun untuk beristirahat. Salam perpisahan darinya adalah langit jingga dengan sedikit sirat berawarna pink. Tapi tentu esok ia akan kembali. Dan kini, langitpun gelap.<\/p>\n

Hp ku berdering. Kara meneleponku. Ini juga bisa dibilang rutinitasnya. Sekedar mengecek keadaanku. Seharusnya bunda yang melakukan ini. Tapi bunda orang yang sangat sibuk.
\u201cHalo ra, kenapa?\u201d tanyaku.<\/p>\n

\u201cGit, lo udah makan?\u201d tanyanya.<\/p>\n

Belum.<\/i><\/p>\n

Rasanya nafsu makanku berkurang. Entah kenapa aku malas makan.<\/p>\n

\u201cUdah\u201d jawabku bohong. Kara yang biasanya tau kalau aku berbohong, tapi kali ini ia hanya ber \u2018oh\u2019 ria disebrang sana.<\/p>\n

\u201cGit\u201d panggilnya.<\/p>\n

\u201cHmm?\u201d terdapat jeda yang cukup lama.<\/p>\n

\u201cGue, mau nembak nadhia\u201d Kini aku yang terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.<\/p>\n

Eh? Kenapa?<\/p>\n

\u201cOh, Nadhia anak sebelah?\u201d tanyaku. Nadhia. Dia gadis yang baik. Pasti dia bisa menjaga Kara kan? tapi, kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh?<\/p>\n

\u201cIya, abis ini gue mau nembak dia lewat chat. Hahaha freak banget ya? Abisnya kalo langsung gue malu\u201d ucapnya yang aku balas dengan tawaan renyah<\/p>\n

\u201cDoain gue ya Git. Lo kan sahabat gue yang paling lama, satu-satunya, ya Git?\u201d lanjutnya dengan nada yang bersemangat. Aku bisa membayangkan wajahnya. Wajah Kara yang penuh harap. Aku terdiam lagi. Lebih lama.<\/p>\n

\u201cGit? Are you there?\u201d panggilnya<\/p>\n

\u201cEh? Oh! Iya. iya Kara.gue doain kok\u201d<\/p>\n

Gak ra, aku gamau. Tapi, kenapa?<\/p>\n

\u201cMakasih Gitaaaa! Harus minta restu sahabat dulu kan? keputusan besar ini mah\u201d ucapnya. Tanpa membalas ucapannya, aku menutup teleponnya.<\/p>\n

Nadhia, ia baik. Tapi, kenapa? Kenapa rasanya sangat berat untuk mengiyakan? Kenapa aku mau rencana Kara gagal? Kenapa? Kurasakan air mataku berkumpul dikantung mataku. Siap meluncur kapan saja.<\/p>\n

Aku mengambil teleponku, hendak menelepon Kara untuk berkata jangan. Jangan chat Nadia. Jangan nyatakan perasaan kamu. Jangan.<\/p>\n

Sungguh, aku sama sekali tidak berharap apa yang diharapkan oleh Kara. Sama sekali.<\/p>\n

Eh?<\/p>\n

Tunggu dulu.<\/p>\n

Memang.<\/p>\n

Aku ini.<\/p>\n

Siapa?<\/p>\n

Karya: Cacak<\/b><\/p>\n

Illustrasi: Hipwee.com<\/b><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Ah, berisik sekali. Rasanya aku baru terlelap beberapa menit. Tanganku meraba-raba kasur, mencari sumber suara. Yang bising itu adalah nada deringku, ah, ini dia.  Si kotak berisik. Siapa yang menelpon malam-malam begini? Apa dia tak butuh istirahat? Dengan susah payah aku berusaha memisahkan kelopak atas mataku yang masih ingin menempel dengan kelopak bawah. Sembari menyipit, […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":804,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[20],"tags":[47],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/samandanews.com\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/783"}],"collection":[{"href":"https:\/\/samandanews.com\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/samandanews.com\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/samandanews.com\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/samandanews.com\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=783"}],"version-history":[{"count":6,"href":"https:\/\/samandanews.com\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/783\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":807,"href":"https:\/\/samandanews.com\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/783\/revisions\/807"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/samandanews.com\/wp-json\/wp\/v2\/media\/804"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/samandanews.com\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=783"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/samandanews.com\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=783"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/samandanews.com\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=783"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}