Jika pertanyaannya adalah soal ada atau tidak ada, maka hal itu terlalu mudah untuk dijawab. Sudah menjadi ciri khas manusia, sebagai ahsanu taqwiim yang dikaruniai akal suka mengada-adakan hal-hal baru dalam kehidupannya.

Justru hal itulah yang membuat garis sejarah manusia menjadi menarik untuk disimak. Tidak seperti ayam dan kucing, yang sejak generasi pertama hingga saat ini hidupnya begitu-begitu saja, hanya tentang ngeker-ngeker tanah dan mengejar-ngejar tikus.

“Jihad Media” sebagai sebuah frasa mungkin tidak bisa kita temukan di kitab-kitab matan maupun syarh manapun. Jihad media merupakan bentuk ijtihad dari para ulama dan organisasi-organisasi lain di dunia ini yang menganut ideologi salafi jihadi.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Bashir Al-Wuhaisyi, bahwa pekerjaan media adalah setengah dari jihad.

Hal ini mengingatkan kita pada ungkapan seorang Sayyid Qutb yang melegenda, “Peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi tulisan bisa menembus jutaan kepala.”

Selain soal urgensi, tentu ada nash-nash syar’i yang melandasi klaim bahwa segala aktivitas seseorang/sekelompok orang dalam bidang media (baik media cetak, elektronik, maupun sosial) bisa dikategorikan sebagai jihad.

Wahai para Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang” (Al-Anfal : 65)

Imam As Sa’di mengungkapkan bahwa “kobarkanlah semangat” ini mencakup segala perkara yang mengarah kepada memotivasi orang beriman untuk berjihad dan menguatkan jiwa mereka. Di antaranya dengan menyebarkan kelemahan musuh dan kekacauan dalam barisan mereka.

Juga mengabarkan keindahan apa saja yang Allah janjikan bagi hamba-hambanya yang berjihad, juga ancaman dan hukuman terhadap mereka yang meninggalkan jihad. Yang demikian ini, dan sejenisnya adalah bentuk “kobarkanlah semangat” untuk berperang.

Dari ayat yang disampaikan, serta penjelasan Imam As Sa’di tersebut, dapat kita simpulkan bahwa jihad media merupakan bentuk “kobarkanlah semangat” di era kekinian. Sebuah era di mana media tak lagi menjadi sekedar penyampai informasi semata, namun media telah menjelma menjadi ideological state apparatus, meminjam bahasa Louis Althusser seorang filsuf Neo Marxis asal Prancis, di mana media menjadi alat untuk menjaga kepentingan dan stabilitas rezim yang berkuasa.

Hingga akhirnya media-media tersebut menjadi identik dengan pembentukan opini, framing issue, serta peluncuran propaganda semata. Sehingga prinsip-prinsip ideal yang semestinya dipegang erat-erat oleh sebuah media seperti impartial, cover both sides, serta independent tak lagi dipakai.

Di tengah kegilaan tersebut lah, jihad media terlahir dan hadir sebagai antitesis. Di mana para mujahid media (harus) senantiasa bersungguh-sungguh dan konsisten dalam mengeluarkan produk-produk medianya. Sebuah produk media yang senantiasa memperhatikan interest (kepentingan) umat Islam serta berperan sebagai pressure (penekanan) terhadap segala bentuk kedholiman tanpa mengabaikan prinsip-prinsip independensi dan keberimbangan.

Berbagai cara dapat kita lakukan untuk melakukan Jihad di media sosial seperti, mencegah berbagai isu Hoax dan kabar miring tentang islam, melakan kegiatan yang bermanfaat bagi umat islam seperti berdakwah, sama sama menghargai keputusan atau pendapat orang lain agar tidak muncul persepsi salah paham terhadap islam, dan mensaring terlebih dahulu berbagai kabar yang kita terima sebelum mensharingnya kepada khalayak ramai.

Berbagai produk media dapat kita salurkan dan bagi ke seluruh dunia, dengan perkembangan teknologi dan digitalisasi yang begitu pesat kita diharapkan dapat menjadi mercusuar syiar dakwah islam dalam bidang literasi maupun media lainnya. Banyak macam bentuk yang dapat kita telurkan untuk membawa kita berjihad di jalan allah melalui media daring maupun luring, seperti di koran, buku baik itu karya fiksi dan non fiksi, serta berbagai postan kita di medsos yang dapat bermanfaat serta membawa nilai keislaman di dalamnya.

(Samanda/Rafi)