“Kepada Sena yang telah gagah dalam berperang, ini untuk tak lagi ada sepi dan kenapa?”

Demi tiap bait kidung Rumekso Ing Wengi yang sedang menggaungkan musiknya ke seluruh ruangan ini, aku menutup telinga. Sayup-sayup suaranya masih terdengar jua, seolah mengguncang tubuhku dengan paksa. Aku memincingkan mata. Menonton helai demi helai daun cerpelai yang terjatuh dari rantingnya di pot dekat jendela itu. Ah, semua pemandangan ini sungguh mengganggu.

Rasanya seperti ada samudra yang terbentang luas di isi kepala, namun yang hadir hanya kapal perompak dari komplotan Khizr Barbarossa. Diacak-acaknya sampai habis samudra itu. Sialnya mereka meninggalkan sesuatu; memori kecil dengan bapak-ibu, kebohongan rumah tangga yang sebetulnya aku tak pernah mau tahu, hingga kecaman orang-orang bertelunjuk maha setan.

Aku membenamkan kepalaku ke dasar ember berisi cairan pembersih lantai, muak. Setelahnya ku banting-banting kepalaku ke tembok bercat usang yang dindingnya ikut retak karena usia. Sepi, sepi. Alunan musiknya sudah hilang, aku sudah tidak bisa dengar. Sepi, sesak. Nyeri sekali. Tapi kenapa? Pertanyaanku sejak dulu cuman satu, kenapa? Tuhan pun tak pernah mau jawab itu. Aku bosan bermonolog dalam kelompang. Ini sudah lelah. Sudah cukup.

Mataku menatap dengan nanar, menyapu seluruh ruangan. Sepi. Tetap sepi. Aku mengambil tongkat pel di hadapan ku, kayunya yang tak lagi muda bergemeratak saat aku patahkan satu sisinya jadi suatu bagian yang meruncing. Lalu hanya dalam hitungan ke tiga, aku sudah binasa.

Ditulis oleh: Cindy

Ilustrasi dari: Google